Review dan Sinopsi Sewu Dino, Benarkah Lebih Seram dari KKN Di Desa Penari?
Tidak mengetahui apapun itu adalah berkah
Hidup Sri memang susah. Saking susahnya, ia pernah kehilangan sang adik karena tidak memiliki biaya untuk perawatan Tyas. Kini, ia hanya tinggal bersama bapak. Sebagai satu-satunya keluarga yang masih hidup, Sri sangat berjuang keras demi kesembuhan bapaknya.
Tapi, sebagai lulusan SD yang tidak memiliki ijazah dan sertifikasi apapun, Sri hanya bisa bekerja sebagai asisten warteg saja.
Entah keberuntungan atau kesialan, di saat Sri amat membutuhkan uang, ia ditawari sebuah kerjaan sebagai ART dengan bayaran 10 juta. Sungguh nominal yang fantastis untuk seorang pembantu di tahun 2003.
Tanpa ba bi bu.. Sri langsung mengamini tawaran Karsa Atmojo. Dan.. sejak saat itu Sri tidak sadar bahwa ia sudah menggadaikan nyawanya pada keluarga Atmojo.
Sinopsis
"Sri, coba dulu yang ini." Ucap Yu Minah sambil sibuk meladeni pelanggan warteg yang terus memanggil namanya sambil memesan makanan dan minuman.
Sri menoleh ke arah Yu Minah dan matanya langsung tertuju pada sebuah selebaran yang disodorkan oleh majikannya itu. Ia menghela nafas saat membaca lowongan pekerjaan dari Yu Minah.
"Ini lowongan dari keluarga Atmojo, kan?" Yu Minah menggangguk untuk menanggapi pertanyaan Sri.
"10 juta lho, Sri. Kamu butuh to buat membiayai bapakmu? Coba saja dulu." Begitulah yang dikatakan Yu Minah yang akhirnya membuat Sri untuk mencoba melamar kerja di keluarga Atmojo.
Keesekoan harinya, Sri mengayuh sepeda menuju kediaman keluarga Atmojo yang tersohor itu. Ia melihat dari luar rumah Atmojo yang begitu ramai dengan para wanita muda. Sepertinya, mereka juga punya tujuan yang sama dengan Sri.
Sri sebenarnya tidak percaya diri untuk melamar ke sana, apalagi setelah mendengar kabar bahwa ada wanita yang ditolak mentah-mentah padahal ia memiliki ijazah SMA. Sungguh semakin ciut nyali Sri yang hanya lulusan SD.
Akhirnya, ia memutar balik sepedanya untuk kembali pulang, mengurungkan niatnya bekerja di keluarga Atmojo. Tapi, saat ia menggoes sepedanya...
TINNN! BRUKKK!
Sri terjatuh dari sepeda. Ia tersungkur tepat di hadapan moncong mobil. Sontak, sang pengemudi itu keluar dari mobil dan langsung membopong Sri ke dalam rumah Atmojo.
Di sana, Sri diberi pertolongan pertama oleh Lidya yang mengurus pelamar kerja untuk keluarga Atmojo. Untunglah Sri hanya mengalami luka sayatan sedikit, tidak parah. Lidya merasa lega berkat hal itu. Tapi, tiba-tiba ada yang memanggil Lidya dari kejauhan.
"Lidya.. sini ndok, mbah mau bicara."
"Iya, mbah."
Lidya pun pergi meninggalkan Sri yang berbalut perban di bagian sikunya. Sri diminta menunggu beberapa lama, hingga akhirnya Lidya keluar.
"Sri.. Mbah Karsa ingin bertemu denganmu. Mungkin ini kesempatanmu untuk bisa bekerja di sini." Lidya terlihat antusias meyakinkan Sri untuk bertemu mbah Karsa. Akhirnya, Sri pun menurutinya.
Sri berjalan masuk ke sebuah ruangan yang minim cahaya. Ternyata, ruangan ini adalah sebuah kamar. Di bagian depannya terdapat kasur dengan kelambu yang khas tapi sangat suram. Menoleh ke sampingnya, ada banyak ornamen tradisional yang menambah kesan suram di dalam kamar.
Sedang asyik meneliti dan mengobservasi satu persatu sudut ruangan itu, Sri dikejutkan sautan seseorang.
"Namamu siapa, ndok?" Ucap orang itu yang terdengar gemetar namun tetap memberikan kesan horor yang mendominasi.
"S-Sri..." ia menjawab dengan nada tergagap, mengantisipasi hal buruk yang mungkin terjadi mengingat semua yang ada di sini menguarkan aura menyeramkan!
Kemudian, sang penanya itu pun berdiri dari tempat duduknya. Mendekati Sri, ia semakin memperlihatkan diri. Sri membelalakan matanya, terkejut melihat rupa Mbah Karsa yang dipenuhi borok, bagian pipi, kening, hingga leher.
Sri semakin ketakutan, rasanya ia ingin lari dan pergi dari ruangan itu. Tapi entah kenapa, badannya terasa kaku sulit bergerak. Tanpa bertele-tele, Mbah Karsa langsung menawarkan pekerjaan menjadi pelayannya. Mbah Karsa mengaku cocok dengan Sri karena ia adalah perempuan Jumat Kliwon yang memiliki aroma Wijayakusuma.
Entah apa maksudnya, tapi Sri sedikit senang karena mendapatkan pekerjaan di keluarga Atmojo. Tapi, Sri kembali dikagetkan saat Mbah Karsa langsung memotong rambutnya, meminta ia membasuh badannya, sebagai ritual khusus.
Mbah Karsa bilang, setelah ritual ini artinya Sri teikat gadai nyawa dengan Atmojo. Jadi, Sri tidak boleh mundur, apalagi mengkhianati Atmojo. Kini, ia adalah pelayan keluarga Atmojo.
Keesokan harinya.
Sri dijemput oleh Sugih untuk mulai bekerja. Sebenarnya bapak Sri tidak setuju. Tapi, ia pasrah ketika Sri mulai membujuknya sekuat tenaga, meyakinkan sang ayah agar mengizinkannya. Akhirnya, Sri pun pergi dengan Sugih ke tempat kerjanya.
Sri tidak sendiri, di sana ada dua wanita lainnya yang juga bekerja untuk Atmojo, yaitu Erna dan Dini. Untuk Dini, ia sudah lebih dulu bekerja untuk Atmojo, jadi dia tahu apa yang akan dihadapinya. Tapi, untuk Erna dan Sri, mereka benar-benar clue-less dan bingung ketika dibawa ke hutan yang jauh dari peradaban.
Tidak ada siapa-siapa di hutan itu. Sontak membuat ketiga wanita ini bergidik ngeri, menimbang-nimbang, sebenarnya pekerjaan macam apa yang harus mereka lakukan?
Akhirnya, mobil Sugih berhenti di sebuah gubuk. Mereka semua masuk dan bertemu dengan Mbah Tamin. Sambil melihat satu per satu wajah Erna, Dini, dan Sri, Mbah Tamin berkata bahwa tugas mereka hanya perlu menjaga dan memandikan cucu Atmojo, yaitu Della.
Mbah Tamin pun menyusuri gubuk tua reyot itu dan berhenti di depan pintu yang tergembok dengan kuat.
"Della ada di dalam. Ia terkena kutukan santet seribu hari (Sewu Dino). Empat hari lagi kutukan 1000 hari selesai. Sampai hari ke-1000, kalian bertiga harus menjaga Della dan memandikannya agar iblis yang merasuki Della bisa lebih tenang. Iblis itu bernama Senggarturih."
Semua yang mendengar penjelasan Mbah Tamin itu pun langsung menelan ludah susah payah. Keringat dingin mulai mengucur sebagai tanda rasa takut dan khawatir akan kutukan itu.
Saat masuk ke ruangan Della, bau busuk menusuk hidung semua orang. Mereka terkejut melihat Della yang terkurung dalam sebuah keranda. Tidak hanya itu, tubuhnya yang pucat dipenuhi oleh luka. Semua pergelangan tangan dan kakinya memar dan memerah akibat tali yang menjeratnya.
"Kalian hanya perlu melakukan ritual Basuh Sedo dengan mengikuti setiap langkah-langkahnya lewat kaset tape itu." Mbah Tamin menunjuk ke pojokan kamar, tempat tape recorder berada.
"Ikuti langkahnya satu per satu, jangan sampai salah. Dini, coba mandikan Della, beri contoh yang lain." Dini pun mulai melakukan ritual. Ia menyetel kasetnya sambil mengikuti semua perintah di kaset itu. Mulai dari menyiapkan air di baskom, mengumpulkan kembang tujuh rupa, hingga membasuh badan Della.
Namun, saat sampai ke area wajah, Della bangun dan menggigit tangan Dini. Dini teriak kesakitan dan ketakutan. Erna dan Sri tercekat, diam tidak tahu harus berbuat apa. Della berubah menjadi sangat mengerikan dengan wajah pucat, gigi menghitam, dengan mata memutih. Della bukan manusia, itu Sengarturih yang menguasai tubuh Della.
Dini masih terus berteriak sangat kencang. Erna dan Sri tetap memaku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Mereka berdua sangat terkejut. Sedangkan Mbah Tamin, berusaha mengontrol Della dan mulai merapal mantra.
Setelah Mbah Tamin selesai merapal mantra, Della mulai lebih tenang. Semua orang di dalam ruangan itu pun bernafas lega.
Tapi.. ketentraman tidak bertahan lama. Hari-hari berikutnya, Erna, Sri, dan Dini harus tetap bersama Della di gubuk tua yang reyot di tengah hutan itu. Della akan selalu memberontak dan menggoda ketiga wanita itu untuk melepaskannya.
Namun, dari kejadian ini juga Sri menyadari sesuatu ada hal yang disembunyikan oleh keluarga Atmojo. Ia mencoba untuk memahami dan mencari tahu semuanya. Tapi, Mbah Karsa sudah mewanti-wantinya untuk tidak mencari tahu lebih dalam, dan cukup sampai menyelamatkan Della saja. Jadi, apa yang terjadi?
Alur Cerita Berubah Total dari Novelnya!
Aku sangat antusias ketika mendengar kabar bahwa Sewu Dino akan ditayangkan ke layar lebar. Saking antusiasnya, aku pun membaca semua tulisan tentang Sewu Dino karya Simpleman, baik dari thread twitter maupun novel.
Untuk thread Twitter, tentu saja jauh berbeda. Banyak poin yang bolong dan tidak jelas. Maka dari itu, aku pun beralih dan mulai membaca novel Sewu Dino.
Di dalam novel, vibes horror dan gore sangat terasa. Meski hanya tampil dalam kata-kata, aku bisa membayangkan kengerian santet yang bersemayam dalam tubuh Della Atmojo.
Belum lagi, kesan menegangkan kejar-kejaran dengan sosok Sengarturih dan Sabdo Kuncoro, semuanya dideskripsikan dengan sangat detail oleh Simpleman. Jadi, enggak heran kan kenapa aku sangat antusias dengan film Sewu Dino?
Karena, jujur saja, aku sudah membayangkan bagaimana serunya unsur gore dan horor menjadi satu membawa ketegangan santet yang berbeda.
Tapi sayangnya, semua ekspektasi ku pun pupus seketika. Ternyata pihak MD Pictures merombak keaslian ceritanya.
Sebenarnya inti ceritanya masih sama dengan novel. Yang aku permasalahkan di sini adalah originalitas karakter yang amat melenceng jauh. Mari kita bahas satu per satu.
Yang pertama, aku kecewa dengan penggambaran sosok Karsa Atmojo. Dalam novel, aku membayangkan sosok Karsa Atmojo yang berwibawa dengan mengenakan sanggul agak tinggi di kepalanya.
Lalu, tatapan Karsa Atmojo dibayanganku dalam novel, memiliki tatapan tajam yang tidak akan pernah berkedip sedikit pun. Siapa pun yang menatapnya pasti merasa segan.
Tetapi, dalam film sosok Karsa ini justru terlihat sangat lemah. Memang dia mengeluarkan aura berbeda, tapi auranya hanya berupa hawa mistis.
Sayangnya, aku merasa hawa mistis tersebut seperti sebuah hawa kekalahan perang. Jadi, seperti tidak ada kekuatan apapun dan terasa pasrah saja dengan kehidupannya. Tidak ada sosok Karsa yang tegas dan berwibawa.
Lalu, untuk karakter Sri pun sangat berbeda jauh. Di novel sangat jelas tergambar bahwa sosok Sri ini punya rasa penasaran yang sangat tinggi. Bahkan, dia tergolong anak pemberani.
Tapi, karakter Sri di film terasa menjadi anak perempuan yang sembrono dengan emosi yang naik-turun. Bahkan, sifat 'penasarannya' pun seperti menguap tanpa bekas. Ia hanya terlihat 'penasaran' saat menit terakhir.
Dan, yang paling mengecewakan dari film produksi MD Ent ini adalah karakter Mbah Tamin. Di novel, Mbah Tamin digambarkan sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam mengatasi santet seribu hari. Bahkan, ia yang menjadi delivery man untuk menghubungkan Sri dan keluarga Atmojo.
Tapi sayang seribu sayang, di film ini karakter Mbah Tamin malah melempem seperti tidak memiliki kekuatan apapun. Bahkan, aku melihatnya sosok Mbah Tamin ini seperti pengecut dan hanya pelengkap saja 'yang penting ada dan sama kaya novel.'
Ini mungkin memang hanya penilaian subjektifku saja, karena mungkin aku ter-influence dengan cerita di novel. Untuk yang enggak baca novel, sepertinya keresahan tadi enggak akan terlalu terasa, dan masih bisa menikmati filmnya hingga akhir.
Dialog Bahasa Jawa yang Mengganggu
Satu lagi kekurangan yang cukup mengganggu untuk beberapa penonton, terutama bagi yang mengerti bahasa Jawa, yaitu logat. Di sini ceritanya mengambil latar tempat di Jawa Timur. Sehingga, film ini memiliki dialog yang dicampur dengan bahasa Jawa.
Meski aku bukan orang Jawa asli, hanya sekedar keturunan Jawa Timur, tapi aku merasakan bahwa logat yang keluar terasa maksa dan kurang tepat.
Banyak saudaraku yang masih sering menggunakan bahasa Jawa. Jadi, sedikitnya aku terbiasa mendengar logat Jawa. Bahkan, mama dan papaku pun masih menggunakan bahasa Jawa di rumah. Jadi, aku sudah tidak asing lagi dengan logat yang Jawa banget.
Nah, logat yang dipakai para pemain Sewu Dino ini sangat lemah, tidak terasa Jawa banget, seolah mereka kurang mengeksplorasi tentang bahasa Jawa. Mereka terasa kaku menyampaikan dialog bernada Jawa, bahkan beberapa terdengar hanya seperti menekan cengkok saja tanpa benar-benar mengeluarkan logatnya.
Yang membuatku agak sedikit terganggu adalah penggunaan kata "wis" (artinya 'sudah') yang sering banget dipakai dalam film ini, terutama Sri.
Dia sering mengatakan "wis" kepada karakter yang lebih tua. Sependek pengetahuanku, kata "wis" ini bukan kata yang lembut/sopan untuk ditujukan kepada orang yang lebih tua.
Bahkan, aku pun pernah ditegur karena bilang "wis" ke mama. Mama bilang ada kata yang lebih sopan untuk mengatakan "wis" ke orang tua, yaitu "sampun."
Jadi, ketika aku nonton film Sewu Dino, aku merasa heran: kenapa Sri selalu bilang "wis" bahkan ke Mbah Tamin, Mbah Karsa, dan Yu Minah? Padahal kan posisi Sri itu lebih muda. Entahlah, mungkin pihak produksi film punya pertimbangan lain.
Detail Film yang Patut Diapresiasi
Sewu Dino membawa latar waktu tahun 2003. Jadi, semua properti pada film akan disesuaikan dengan tahun 2000-an. Aku akui bahwa detail properti yang digunakan terlihat sangat sempurna tanpa cela.
Pihak produksi film dan crew, mengganti setiap pecahan uang untuk menyesuaikan dengan zamannya. Lalu, aku perhatikan mobil yang dipakai pun juga cocok dengan tahun 2000-an. Sampai aku lihat bagian plat nomor pun diganti dengan tahun 2000-an. Aku salut mereka mengganti hal-hal sekecil ini.
Dengan detail yang terasa pas dan menyatu ini membuat penonton merasakan hawa 2000-an yang amat kental. Mungkin bagi generasi 90-an bisa merasakan beberapa nostalgia, tapi untuk generasi yang lahir tahun 2000-an tidak akan merasakan kesan nostalgia itu. Atau mungkin mereka akan merasakan kesan yang jadul walau sebenarnya enggak jadul jadul amat.
Horor yang Cukup Menegangkan
Selain keunggulannya dalam detail, Kimo juga jago menempatkan jumpscare di setiap sudut adegannya. Jujur saja, aku cukup sering merasa kaget berkat jumpscare yang muncul di dalam film.
Yang bikin sense horornya semakin meningkat adalah bagian skoring. Alunan backsound-nya ditempatkan sangat pas dan tepat. Tapi anehnya, tidak ada sound yang membawa alunan musik tradisional, misalnya gamelan.
Sound yang hadir dalam film ini punya vibes yang mirip dengan film horor barat, seperti Conjuring, Annabelle, Insidious, dll. Enggak salah sih, hanya saja unsur tradisional dan budaya Jawanya jadi tergeser.
Lalu, untuk gambaran setan Senggarturih di sini menurutku tidak menyeramkan sama sekali. Malah lebih seram ketika Della kesurupan dirasuki oleh Senggarturih.
Senggarturih di film ditampakan sebagai sosok seperti kuyang. Tapi, CGI dari sosok kuyang ini kurang mulus sehingga kesan seramnya kurang terasa. Penonton bisa tahu bahwa itu bukan hantu asli, tapi cuma efek komputer saja.
Jadi, aku tidak takut melihat Senggarturih, malah lebih takut melihat sosok Della dengan matanya yang memutih, gigi hitam, sambil menyeringai seram.
Overall, Sewu Dino sebenarnya bukan film yang buruk tapi juga bukan film yang bagus. Dan, Sewu Dino menjadi film pembuka yang bagus untuk universe terbaru dari Simpleman. Meskipun begitu, untuk sense horonya, Aku masih lebih suka Pengabdi Setan 2.
Saranku, untuk yang ingin nonton Sewu Dino, sebaiknya jangan baca novelnya dulu. Tapi, kalau kamu punya banyak pertanyaan tentang cerita Sewu Dino, coba baca novelnya. Dalam novel, semua cerita digambarkan secara runtut dan jelas.
Itu saja review dari aku. Kira-kira apakah kalian tertarik untuk menontonnya?
Comments
Post a Comment