Review & Sinopsis Miracle: Letters to the President (The Miracle), Stasiun Impian
Aku akan terus tinggal di sini, bersamamu Noona
Pernahkah kalian berpikir untuk tinggal di suatu desa tanpa satu pun akses jalan? Pernahkah kalian berjalan kaki belasan kilometer, melewati tiga terowongan, tiga jembatan kereta hanya untuk sampai di rumah?
Pernahkah kalian dikejar-kejar kereta mempertaruhkan satu-satunya nyawa hanya demi bepergian ke luar desa? Pernahkah kalian menyaksikan orang-orang tersayang pergi satu-persatu karena tertabrak kereta atau jatuh dari jembatan kereta? Tidak?
Itulah yang dilakukan adikku sekarang. Demi mendapatkan kemudahan akses transportasi, ia rela mengirimkan puluhan surat kepada presiden. Ia hanya ingin presiden melirik dan segera membangun akses transportasi untuk desa kami. Beginilah kisahnya...
WARNING! Artikel mengandung spoiler.
- Tayangan: iQiyi / Vidio
- Genre Film: Melodrama
- Tanggal Rilis: 15 September 2021
- Durasi: 1 jam 57 menit
- Pemain: Park Jung Min (Joo-Kyeong), Yoona (Ra Hae), Lee Sung Min (Tae Yoon), Lee Soo Kyung (Bo Kyung)
Sinopsis
Adikku sungguh anak yang sangat pintar dan cerdas, Tidak seperti diriku. Ia selalu menjadi juara satu di sekolah, bahkan sampai ke tingkat provinsi. Tetangga kami bilang, bahwa aku tidak terlihat seperti anak pintar. Betul, tapi aku pandai mengurus adikku satu-satunya.
Setiap hari, aku akan mengantar dan menjemputnya di sekolah. Meski dia sudah duduk di kelas 4 Sekolah Dasar, aku tetap harus melakukannya karena rumah kami punya lokasi yang unik. Tidak ada jalan mobil, hanya ada rel kereta.
Jadi, setiap hari kami harus melalui rel kereta untuk bisa sampai di rumah....(tidak) dengan selamat. Ya, karena kami harus ekstra hati-hati. Entah jam berapa kereta datang, dan dia bisa kapan saja menyambar badan kami hingga terpental belasan kilometer.
Terdengar sangat mengerikan? Tapi, mau bagaimana lagi? Hanya ini satu-satunya akses menuju sekolah, pasar, dan kota. Tidak terasa, aku dan adikku sudah melalui ini selama belasan tahun. Hingga.. kini adikku sudah duduk di bangku SMA. Ah, waktu begitu cepat berlalu.
Dulu, adikku sangat penakut dan tidak bisa jauh dariku. Kini, ia sudah seperti 'oppa' dengan badannya yang tinggi, besar, dan wajahnya yang tegas pelit senyuman. Dia adikku, Joon-Kyeong.
"Bagaimana kau bisa mengirim surat ke presiden dengan tulisan seperti itu?" Itu yang diucapkan oleh kawan sekelasnya saat Joon-Kyeong kepergok mengirimi surat ke presiden.
"Lihat tulisanmu itu banyak salah ketik. Tidak akan ada yang melirik tulisan seperti itu."
Teman perempuannya tetap mengoceh sambil mengikuti Joo-Kyeong yang sedang naik sepeda. Tentu saja perempuan itu mengikutinya dengan menggunakan mobil.
"Ayolah, maafkan aku. Aku akan membantumu. Hanya informasi, aku anak DPR lho..."
Mengucapkan kata 'DPR' ternyata ampuh membuat Joo-Kyeong menoleh. Ia tertarik dengan tawaran Ra Hae. Sebelumnya, adikku sangat kesal pada Ra Hae yang tidak sopan membaca surat tanpa seizinnya.
Ya... begitulah akhirnya Joo-Kyeong bisa berkenalan dengan Ra Hae. Sungguh, anak perempuan yang aktif. Cocok sekali!
Sejak kejadian itu, mereka berdua terlihat sering pergi bersama. Entah di perpustakaan. Warung makan tteokpoki. Atau bahkan sekedar bermain di toko kelontong. Kalau mereka ada di perpusatakaan, artinya Ra Hae sedang memaksa adikku belajar cara menulis dengan benar.
Sifat Ra Hae yang galak dan tegas ternyata bisa membuat nyali Joo-Kyeong ciut. Heran juga, kenapa adikku bisa begitu penurut dan jinak pada seorang anak perempuan? Mungkin itu yang dibilang masa pubertas.
Entahlah, namun yang jelas, kini Ra Hae tahu tujuan Joo-Kyeong menulis surat untuk presiden. Joo-Kyeong bercerita bahwa desa tempat tinggalnya tidak memiliki akses sama sekali. Untuk itu, dia punya cita-cita membangun stasiun kereta di desanya agar para warga tidak perlu khawatir dengan keselamatan mereka.
Sungguh mulia memang adikku ini. Sayangnya, perjuangan untuk mengejar stasiun impiannya itu sangat sulit. Jatuh bangun yang ia rasakan sangat menekan mentalnya. Permasalahan pertama datang saat Ra Hae dinyatakan akan pindah ke Seoul.
Masalah selanjutnya, teknologi pendeteksi kereta di terowongan buatan Joo-Kyeong rusak. Alhasil, warga melewati rel kereta begitu saja tanpa tahu bahwa ada kereta yang siap menyambar mereka kapan saja.
Masalah lain muncul lagi saat ia tahu presiden tidak pernah menggubris surat-suratnya. Pihak pemerintah justru menunda pembuatan stasiun dengan alasan akan ada acara berskala internasional, yaitu olimpiade tahun 88.
Namun masalah puncaknya adalah ketika Joo-Kyeong sadar bahwa kakaknya tidak benar-benar hadir mendukungnya. Ia sadar, ayahnya yang seorang masinis kereta pun menyembunyikan sebuah rahasia besar.... yang... sulit untuk diekspresikan.
Semua masalah ini semakin pelik ketika pihak sekolah menawarkan beasiswa untuk Joo-Kyeong. Ia bisa berkesempatan belajar di NASA - Amerika! Tapi, ia sangat peduli pada warga. Sungguh dilema, haruskah ia melanjutkan impiannya membangun stasiun? Atau, melepaskannya demi beasiswa ke NASA?
Noona sangat berharap kau bisa menemukan solusi terbaiknya, Joo-Kyeongie. Noona akan selalu mendukungmu. Noona selalu di rumah, adikku tercinta.
Baca Juga: Review Film Sri Asih
Ide Cerita Ringan yang Tersusun Rapi
Mungkin di menit-menit awal, kita bakal senang dengan berbagai adegan komedi yang tersaji. Namun, sudah memasuki babak pertengahan film, aku bisa merasakan hawa melow dari cerita film ini.
Premis ceritanya memang bukan sebuah ide yang unik, tapi eksekusi filmnya bisa menarik penonton ikut hanyut dalam kesedihan yang terpampang dalam film.
Contohnya, ketika kita tahu bahwa warga Buncheon-ri, Socheon-myeon harus susah payah melewati rel kereta hanya demi pergi ke kota, adegannya diperlihatkan sangat detail. Plot yang disajikan begitu pas dan terasa lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Lalu, alur maju yang digunakan untuk menyampaikan jalan cerita juga sangat rapi dan runut. Tidak ada plot yang membingungkan. Semua clue tersaji secara apik. Kita tidak akan melupakan satu clue pun dan bisa mengikuti ceritanya dengan mudah.
Tetapi, kalau kalian tidak jeli, mungkin akan melewati beberapa hal penting yang nantinya akan berhubungan dengan plotwist. Ini sangat bagus, karena clue untuk plotwist sebenarnya sudah disediakan sejak awal film dimulai. Tapi, mungkin enggak banyak yang ngeuh.
Jadi saranku, perhatikan detail setiap karakternya baik-baik. Jika kamu bisa memerhatikannya dengan baik maka kamu bisa menebak dengan mudah plotwist dalam film ini.
Sepertinya, kalau kalian suka nonton drakor atau film ber-genre kriminal, detektif, dan semacamnya, aku yakin kalian pasti bisa menebak plotwist akhir dengan mudah sejak menit pertama film dimulai.
Sinematografi Memuaskan Khas Ala Film Korea
Fyi, film Miracle: Letters to the President punya latar 1980-an dimana saat itu Korea Selatan sedang menjadi tuan rumah untuk acara Piala Dunia. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana sinematografinya akan membawa kesan jadul yang otentik.
Kalau kalian pernah nonton drama Reply 1988, ya seperti itulah gambaran sinematografinya. Hanya saja, di film Miracle: Letters to the President ini punya tone kekuningan yang lebih kuat dibandingkan dengan Reply 1988.
Tone di sini lebih mirip dengan film Kim Ji-young: Born 1982. Wajar, karena dua film itu didistribusikan oleh satu perusahan yang sama, yaitu Lotte Entertainment.
Baca Juga: Review Novel Kim Ji-young: Born 1982
Mana yang lebih bagus? Jujur saja, aku lebih menyukai tampilan warna dari reply 1988. Terkesan lebih jernih dan masuk akal. Kenapa? Di Miracle: Letters to the President ada satu adegan yang CGI-nya terlihat sedikit agak mentah.
Adegan tersebut hadir saat Joo-Kyeong dan Ra Hae jalan berdua di rel pada malam hari dan bertemu dengan banyak kunang-kunang. Nah, yang aku kurang sreg adalah bagian kunang-kunang yang terasa kurang real.
Tapi bukan berarti jelek, hanya saja kurang sempurna. Dan, kekurangan ini sama sekali tidak mengganggu esensi dari filmnya. Toh adegan ini hanya muncul beberapa menit saja. Sisanya, keseluruhan sinematografi sangat cantik dan terasa tahun 80-annya.
Sedangkan untuk pergerakan kamera tidak perlu dipertanyakan lagi. Korea Selatan memang salah satu negara yang paling niat dalam hal pembuatan film. Pergerakan kameranya sangat dinamis dan bagus seolah mengarahkan mata penonton untuk mengikuti alur karakter yang sedang diperlihatkan.
Satu adegan favoritku yang menunjukkan bahwa kamera yang digunakan di film ini punya kualitas bagus adalah ketika Ra Hae berada di mobil dan membujuk Joo-Kyeong yang sedang goes sepeda. Pergerakan kamera dalam adegan tersebut mengikuti tempo bersepedanya Joo-Kyeong, sangat smooth dan pas. Good job!
Skoring Sesuai dengan Tema dan Kondisi
Sudah kubilang, Korea Selatan adalah negara paling niat dalam pembuatan film. Apalagi jika filmnya punya genre drama-melow seperti ini, KorSel adalah jagoannya! Selain karena sinematografi yang apik, di sini ada peran skoring yang membuat kita semakin terenyuh dengan jalan ceritanya.
Backsound yang diperdengarkan pada film ini cukup variatif. Memang bukan sound yang memorable seperti kebanyakan drakor, tapi backsound-nya ini benar-benar menggambarkan suasana dan kondisi yang terjadi di setiap adegan filmnya.
Contohnya, saat adegan Ra Hae dan Joo-Kyeong bermain DingDong di toko kelontong, mereka bakal memutar lagu ala tahun 80-an. Lagu yang diputar adalah lagu yang penuh semangat dan menyenangkan. Jadi, penonton bisa merasakan perasaan dari kedua karakter tersebut dengan baik.
Dan yang epik, jika ada adegan komedi, justru mereka jarang sekali menyisipkan skoring di tengah adegannya. Contoh, saat Ra Hae dan temannya kepergok bacain surat milik Joo-Kyeong, pada saat itu tidak ada suara apapun, hanya hening.
Enggak ada suara apapun membuat penonton seolah ikut merasa 'kepergok' oleh Joo-Kyeong. Ini bagus untuk membangun bonding antara film serta penontonnya karena mereka meletakkannya di awal film. Another applause!
Dukungan Akting yang Memukau
Semua hal yang aku sebutkan tadi enggak akan terasa sempurna kalau belum membahas akting dari setiap pemerannya. Di sini aku sangat mengapresiasi akting Yoona - SNSD sebagai Ra Hae. Jujur saja, awalnya aku sedikit skeptis saat tahu Yoona akan memegang pemeran utama wanita.
Sebab, aku merasa kurang sreg dengan akting-nya saat terakhir kali aku menonton kemampuan aktingnya di drama The K2. Tapi.... surprisingly, Yoona bisa membawakan karakter Ra Hae dengan sangat sangat sangat baik.
Aku sanga suka logat 'kampung'nya diperlihatkan secara natural. Lalu, ekspresi setiap adegannya juga sangat ngena di hati. Sisi komedinya, seriusnya, bahkan rasa sedih dan kecewa pun disampaikan dengan baik oleh mimik wajah yang ditampilkan Yoona.
Lalu, untuk pemeran utama pria, Park Jung-Min, tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia sudah lebih dulu nyemplung di dunia olah peran dengan jam terbang yang cukup tinggi. Jadi, enggak perlu lagi diulas sebagaimana bagusnya Jung-Min dalam mengekspresikan setiap emosi Joo-Kyeong.
Tidak berlebihan memang jika film Miracle: Letters to the President adalah salah satu tontonan wajib bagi kamu yang doyan drakor atau film Korea. Banyak yang memuji betapa apiknya film ini. Bahkan pihak iMDB pun memberikan rating 7.3 untuk film besutan tahun 2021 ini.
Tapi tentu saja, Miracle: Letters to the President belum bisa menduduki posisi sebagai film terbaik. Masih ada beberapa kelemahan di sana-sini. Selain karena CGI kurang mulus, perkembangan love story antara Ra Hae dan Joo-Kyeong terasa hambar dan terkesan buru-buru 'yang penting ada romance.'
Jadi, untuk kalian yang mau nonton film ini, sebaiknya tidak berkekspektasi apapun soal romance. Soalnya, memang kisah cintanya agak lemah. Fokus saja pada perjuangan Joo-Kyeong untuk memenuhi cita-citanya dalam memberikan akses transportasi di desanya.
Dan, satu fakta yang menarik dari film ini adalah, ternyata Miracle: Letters to the President terinspirasi dari kisah nyata lho! Makin penasaran? Langsung tonton filmnya!
wah kalo ada Yoona SNSD, wajib nonton nih :D
ReplyDeletebagus ceritanya, sangat inspiratif deh pokoknya. Yoona di sini gemesin bangettttt. Harus tonton! ^^
Delete