First and Last - Part 1
BREAKING NEWS: Konser Jinyoung Memakan Korban Jiwa, Management Tetap Bungkam!!
---------------------------------------------------------
"Jinyoung, apakah Anda benar-benar akan vakum dari dunia keartisan?" Pertanyaan itu dilontarkan dengan suara lantang menggema di tengah kerumunan orang yang sibuk menenteng kamera serta mikrofon.
"Jinyoung, apa tanggapan Anda tentang korban yang tewas di konser?" lagi, pertanyaan bertubi-tubi tentang kejadian itu tidak pernah berhenti.
"Jinyoung, apakah Anda sudah menemui keluarga korban?" Semua pertanyaan menyangkut kejadian itu lagi, dan..... korbannya.
Jinyoung!
Jinyoung!
Jinyoung!
Jinyoung!
Semua orang mengoarkan namanya berkali-kali. Bahkan, mereka bergerombol mengejar langkah Jinyoung ke arah panggung. Langkah para wartawan haus akan gosip itu berhenti setelah Jinyoung menggerakan kakinya, menaiki tangga rendah menuju atas panggung.
Di atas panggung sudah tersedia meja panjang dilapisi kain hitam pekat. Di balik meja itu pun terpajang setidaknya lima kursi. Jinyoung yang belum selesai menapaki tangga, tiba-tiba berdiam diri sambil membelakangi para wartawan yang sibuk memotretnya dengan sorot lampu menyilaukan mata.
Kedua bola matanya tertuju pada sebuah kursi di bagian tengah. Sorotan matanya kosong. Tidak ada emosi yang tergambar di wajahnya. Menatap kursi bagian tengah cukup lama sehingga....
"Hahhhhhh...."
Dia menghebuskan nafasnya dengan berat. Sungguh berat. Ini bukan kejadian yang pernah ia alami. Mengejutkan. Betapa sulitnya menghadapi ini.
Kemudian, kedua kakinya mulai termotivasi untuk bergerak lagi. Kali ini dia berjalan dengan langkah lebar. Langsung berhadapan dengan kursi di tengah itu. Ditariknya kursi itu hingga menimbulkan suara berdecit. Tanpa waktu lama, dia sudah meletakkan kedua bokongnya di atas kursi.
Kursi yang nyaman, seharusnya. Tapi... dia tidak bisa merasakan kenyamanan itu. Seempuk apapun bantalan kursinya, tetap saja terasa panas dan keras.
Jinyoung bergerak ke kanan ke kiri secara pelan. Mukanya yang putih semakin pucat. Bibirnya biasa menampilkan rona pink sehat, sekarang hanya tinggal putih seperti vampir. Ia sangat gelisah.
Selama ia bergumul dengan kegelisahannya itu, satu persatu kursi di sampingnya pun terisi oleh beberapa orang. Ada Taecyeon di samping kanannya. Kemudian, bagian kiri Jinyoung diisi oleh CEO dari pihak agensinya. Dua kursi kosong lainnya diisi oleh tim PR dari agensinya.
Jinyoung hanya bisa menunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi apa. Hingga Taecyeon terulur untuk memegang telapak tangan Jinyoung yang sedikit gemetar. Jinyoung menoleh, menatap sorotan mata Taecyeon yang terlihat sangat meyakinkannya. Taecyeon membalas dengan senyum amat tipis sambil mengayunkan kepala ke atas-bawah.
Jinyoung pun berdiri dan membungkukkan badannya 90 derajat. Semua orang di sampingnya pun mengikuti kegiatan itu. Bukan bungkukkan badan yang singkat. Cukup lama. Hingga bisa meyakinkan semua orang bahwa itu akan membuat punggung mereka sakit dan sedikit pegal.
Tapi, mereka salah. Semua orang yang membungkuk, terutama Jinyoung, tidak pernah merasakan sakit punggung. Sakit yang dialami berbeda. Tidak akan bisa dimengerti oleh media penggosip. Sakit itu akan membekas. Atau mungkin... akan selalu terasa menyakitkan. Khususnya bagi Jinyoung sendiri.
Selesai acara bungkuk membungkuk, semua kembali duduk. Ekspresi mereka datar. Namun, semua tahu, itu adalah ekspresi kesedihan, penyesalan yang tak berujung. Hingga mikrofon di hadapan Jinyoung pun mulai berubah warna menjadi hijau, menandakan sudah ON.
"Kami sungguh menyesal atas kejadian yang membuat seorang teman harus pergi untuk selamanya. Kami berbelasungkawa atas kejadian tersebut. Dan dengan ini Saya memutuskan untuk berhenti di dunia Entertainment."
Ucapan terakhir Jinyoung membuat gemuruh di ruangan semakin heboh. Kasak kusuk, suara jepretan kamera, hingga pertanyaan-pertanyaan dilontarkan bertubi-tubi. Mungkin saja itu bisa memekakan telinganya. Bahkan membuat matanya sakit karena terlalu silau dengan sorot lampu.
Namun, semua menjadi bungkam. Jinyoung mulai mengeluarkan sepatah demi patah kata-kata yang ada di pikiran dan hatinya.
"Senyumnya saat itu sangat lebar dan tulus. Meski pelipismu dibanjiri keringat dahsyat, kamu tetap menyanyikan lagu sampai akhir."
Mata CEO yang duduk di sampingnya itu melotot sangat lebar. Tidak. Itu tidak ada dalam briefing! Jinyoung melipat kertas yang ia pegang. Mengenggamnya dengan erat hingga kertas itu kusut. Taecyeon awalnya terkejut, namun tidak bergeming sedikit pun. Staff lainnya mulai memasang wajah pucat pasi.
"Kau sungguh tulus. Aku melihatmu tepat di hadapanku. Kau menari dengan lincahnya. Berbahagia dengan semua lagu itu. Aku merasa lelah, tapi kamu tidak."
Jinyoung tetap melanjutkannya. Tanpa suara bergetar. Suara meyakinkan itu membuat semuanya bungkam. Ingin rasanya terus mendengarkannya sampai akhir.
"Semua harus tahu. Dunia harus tahu bahwa kamu pernah hadir di tengah-tengah kami..."
---------------------------------------------------------
Satu bulan sebelumnya...
"Jichuuu-yaa~" Yang dipanggil hanya menyaut dengan tersenyum. Ia menampilkan sedikit giginya yang putih nan rapi.
Suasana cafe dekat kampus masih agak sepi. Jisoo masih bisa mendengar panggilan imut itu dengan jelas. Padahal, dia duduk di pojok jendela, lengkap dengan novel "Pride and Prejudice" yang sedang ia baca. Di atas meja cafe bundar yang mini itu, terdapat cangkir Capuccino yang masih mengepulkan asap di atasnya.
"Jichuuu~" Suaranya semakin terdengar saat bokong anak perempuan itu duduk tepat di sampingnya.
"Hadiah untukmu!" Ucap si anak tadi sambil mengeluarkan benda persegi panjang berwarna hitam. Ia sibuk memegang benda itu dengan jarinya. Lantas, dia langsung membuka file dengan simbol gambar pemandangan di dalamnya. Klik "GALERI."
"Lihat~ Ini saat aku bertemu dengan Jinyoung oppa di acara fanmeeting. Ganteng banget! Aku nggak masalah kita berbagi suami deh.." Ocehan Jennie membuat Jisoo bergidik geli. Dia belum menimpali. Tapi, dia serius menatap layar ponsel Jennie.
Ada sebuah video memperlihatkan seorang lelaki tampan di atas panggung. Dia bernyanyi dengan kemeja berwarna putih. Bagian luar kemeja itu dibalut jas hitam pekat disertai glitter berwarna silver yang membuatnya sangat menonjol.
Celananya simpel. Hanya celana jeans berwarna gelap dengan aksen sederhana. Tidak ada aksesoris tambahan. Hanya saja, lelaki itu terlihat sangat cemerlang berkat Make Up Artist yang bisa membuatnya tetap terlihat fresh.
Tak disangka, Jisoo menatapnya sambil tersipu. Pipinya sedikit merona hanya karena cowok itu bernyanyi di layar ponsel. Ah... sudah gila. Itu yang dikatakan mamanya saat tahu anaknya terobsesi oleh seorang penyanyi.
"Kau mau videonya?" Pertanyaan Jennie membuyarkan khayalan Jisoo yang sedang tersipu. Dia menanggapinya hanya dengan anggukan berkali-kali.
"Sudah ku duga. Sebagai gantinya... ajarkan aku bahasa Inggris, ya! Bantu aku bikin abstrak untuk paper. Aku kira jurusan design tidak akan pernah ada nulis-nulis bahasa Inggris. Ish.."
"Iya, akan aku bantu apapun itu selama asupan video Jinyoung oppa tetap lancar." Goda Jisoo pada Jennie.
Jennie hanya tersenyum senang. Ia langsung mengirimkan undangan Google Drive ke email Jisoo. Di dalamnya, terdapat puluhan video Jinyoung saat acara fanmeeting.
Memang, ada beberapa hal yang tidak bisa direkam. Namun, Jisoo cukup senang bisa melihat penampilan Jinyoung di acara itu, meski lewat layar.
---------------------------------------------------------
Hari ini cukup membuat Jisoo sedikit kewalahan. Jantungnya berdegup terlalu kencang. Mungkin karena kelelahan. Atau, bisa juga karena efek berpikir terlalu keras. Setelah melakukan 'transaksi' video tadi, mereka berdua langsung mendiskusikan abstrak yang sedang digarap Jennie.
Cukup memusingkan. Jisoo sangat awam di dunia desain. Saking sibuknya - meski cuma abstrak - mereka berdua juga telat makan. Mungkin itu juga menjadi salah satu faktor yang membuatnya kewalahan hari ini. Aritmia jantungnya tidak berdegup dengan normal. Terlalu kencang. Ditambah, asam lambungnya juga naik.
Sudahlah... Jisoo pasti diomeli habis-habisan di rumah. Wajahnya cukup pucat. Dia langsung masuk ke ruangan yang dilengkapi TV 52 inci. Lengkap dengan sofa abu panjang dihiasi tiga bantal di atasnya. Melihat kenyamanan yang ditawarkan, dia langsung membanting badannya perlahan di atas sofa empuk itu.
"hah...."
"Jisoo! Astaga..."
Suara wanita paruh baya yang sedang berada di dapur, tiba-tiba menghampiri sang anak. Wajahnya penuh kecemasan.
Meski begitu, orang yang dicemaskan hanya tersenyum. Ia semakin tersenyum berkat uluran tangan mama. Kepalanya terasa ringan setelah diusap oleh tangan sang ibu.
"Aku baik-baik saja.."
"Kau berkeringat. Pusing? Dada sesak? Atau sakit?"
"Astaga eomma.. aku sungguh baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan."
Jisoo pun menyentuh tangan lembut sang ibunda. Diletakkannya tangan itu di dadanya. Detak jantungnya memang terkesan terlalu kencang. Namun, lama-kelamaan semakin meredam. Jisoo memandang ibunya untuk meyakinkan bahwa dia baik-baik saja.
Dia tidak mau ke Rumah Sakit lagi, hanya demi menormalkan detak jantung. Ah Aritmia Jantung ini cukup merepotkan.
"Jisoo-ya... besok jangan kuliah dulu ya?"
"Aih.. eomma ini aneh. Katanya ingin melihatku sebagai penulis. Kalau aku tidak belajar, gagal sudah impianku!"
"Tapi... besok kita kontrol saja. Tidak apa-apa kok jadwal kontrolnya lebih cepat."
"Eomma... plis..."
Tatapan Jisoo yang seperti anak kucing memelas pun berhasil meluluhkan hati mama Kim. Akhirnya ia mengalah. Untung saja perdebatan itu tidak memanjang. Semua berakhir dengan Jisoo yang langsung pergi ke kamar.
Malam ini, Jisoo sibuk berkutat di layar laptop. Membuka matanya lebar-lebar. Kedua ujung bibirnya terangkat dengan lebarnya. Terus saja tersenyum tanpa henti. Jika dilihat, ternyata layar laptop itu menampilkan sosok artis papan atas yang sedang menyanyi dengan syahdu.
너의 모든 걸 나에게 다 줘도 (Even if you give me everything you have)
미안해하며 자신마저 (You are still sorry and try to even give yourself to me)
주는 그대에게 내가 준 건 (What I gave to you is)
Still nothing, nothing, nothing 아직도 (Still nothing, nothing, nothing even now)
So I’m so sorry...
So I’m sorry...
Sungguh sebuah lagu yang sepertinya menghipnotis Jisoo terlalu dalam. Bahkan, ia tidak berkedip sedetik pun. Justru kedua bola matanya seperti memancarkan sinar yang begitu terang. Begitu mengagumi setiap kali lelaki itu bernyanyi. Padahal, lelaki itu hanya duduk di atas kursi yang tinggi.
Kursi diletakkan di tengah panggung. Mikrofon berwarna hitam digenggamnya menggunakan tangan kiri. Pakaiannya pun simpel. Hanya kemeja biru dongker dengan celana putih bersih. Rambutnya disisir rapi ke belakang, menampakkan jidatnya yang mulus. Sungguh... membuat Jisoo jatuh hati berulang kali.
"Jisoo-ya, kenapa kau belum tidur? Sudah jam 10. Sudah ayo matikan laptopmu. Apa kau tidak bosan setiap malam memandangi orang itu?" Ia masuk ke kamar Jisoo seraya merapikan selimut bermotif garis berwarna pink pastel. Menyiapkan kasur sang anak agar ia bisa tetap tertidur dengan nyenyak.
"Ish.. eomma.. dia tampan. Suaranya juga bagus. Dia penyemangatku tahu."
"Iya iya.. tapi sekarang kau harus tidur."
Jisoo bersengut sambil memajukan sedikit bibirnya. Dimatikan laptop itu. Kedua kakinya mulai melangkah. Menaiki kasur ukuran Queen Size. Jisoo memang datang dari keluarga yang berkecukupan, meski hanya tinggal dengan ibunya.
Ibunyalah yang selalu ada untuk Jisoo. Ibunya selalu bekerja keras demi menghidupi Jisoo. Ibunya sosok wanita hebat. Berkarir sekaligus merawat anaknya yang mengidap penyakit Jantung.
Jisoo sempat berpikir, apakah sang ibu keberatan? Apakah ibu kesulitan? Apalagi setelah mengetahui ayahnya minta cerai demi menikahi wanita muda. Sungguh pengalaman keluarga yang menyakitkan. Tapi, ibunya tetap bisa tersenyum.
Bahkan bisa memastikan anaknya tetap bahagia meskipun hanya berdua saja. Sungguh, ibu adalah sosok yang sangat ia banggakan.
"Eomma.." Jisoo sudah berbaring dengan nyaman di atas kasur. Dibalutnya selimut ke badan Jisoo. Lalu, tangan mama Kim mengelus rambut sang anak satu-satunya dengan sangat sayang.
"Kenapa? Kau mau minta apa lagi?"
"Aih, eomma.. Kok tahu?"
"Sudah diduga. Apa sih?"
"Jinyoung konser sebulan lagi.."
"............."
"Sebenarnya pengumuman konser sudah ada sejak enam bulan lalu."
"................"
"Aku punya tabungan yang cukup."
"..............."
"Aku tidak akan meminta uang pada eomma. Hanya meminta izin"
"Tidak."
Satu kata final itu membuat Jisoo menggelayutkan diri di lengan ibunya. memandangnya dengan ekspresi andalan. Ekspresi anak kucing yang memelas.
"Tidak Jisoo. Sekali tidak tetap tidak."
"Kenapa? Ada tempat duduknya kok!"
"Tetap saja tidak. Di sana berkerumun!" Nadanya mulai menaik.
"Aku merasa seperti Rapunzel. Cuma berdiam diri di kastil tinggi. Memandang langit biru indah tapi kosong! Hidup hampa. Mau melakukan apapun dilarang. Bertemu orang dilarang. Aku bukan Rapunzel! Dan eomma bukan ibu tiriku!"
"JISOO!" Teriakan begitu menggema di ruangan.
"Mwo? Ucapanku benar, kan?!"
"Tidur. Besok eomma kerja pagi."
Jisoo menatap nanar kepergian ibunya. Ia mendesah kasar. Sebenarnya dia sudah menduga jawaban sang ibu. Tapi.. entahlah.. tetap bikin kesal.
Saking kesalnya, Jisoo langsung mengambil ponsel. Dibukanya aplikasi untuk membeli tiket konser. Dia langsung mengklik "Payment" tanpa pikir panjang. Sebuah notifikasi e-mail pun masuk. Dan tringggg....
Transaksi Berhasil!
Jisoo tersenyum senang. Ia merasa lega sekaligus puas. Langsung saja ia mengabadikan notifikasi itu lewat screenshot. Dengan sigap, dia langsung membuka Kakao Talk. Dicarinya nama Jennie. Lalu... klik send. Tak terduga, balasannya begitu cepat.
"Daebbak!!! Kau gila Kim Jisoo."
Hanya itu yang dikatakan Jennie. Jisoo terkekeh. Dia tidak berniat membalasnya. Sengaja membuat si sahabat mengoceh keesokan harinya. Jisoo pun bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
---------------------------------------------------------
"Jisoo-ya.. eomma berangkat kerja. Sarapan di meja makan. Obat-obatanmu juga. Semuanya harus masuk ke perut ya? Jangan disisakan sedikit pun."
Sebelum melangkah keluar rumah, Mama Kim menyempatkan diri untuk mengecup kening Jisoo. Kemudian, mobil sedan berwarna silver itu pun melaju sewajarnya.
Yang dicium hanya menggeliatkan badan. Masih bermalas-malasan di kasur. Ini masih jam 7 pagi. Kuliahnya jam 10. Masih lama. Jisoo beranjak dari kasur dengan gerakan siput. Melambat seperti video lawas yang sudah rusak.
Bahkan butuh waktu lebih dari tiga menit untuk memastikan giginya bersih dan wangi. Apalagi untuk membersihkan badannya, lebih dari setengah jam Jisoo berendam di bathup. Hari ini dilalui seperti biasa. Tak ada yang spesial.
Bangun, sikat gigi, mandi, yang terakhir sarapan. Tepat jam 8.15, Jisoo sudah menghempaskan badan kurusnya di atas kursi makan. Mengunyah masakan rumah khas Korea. Ada semangkuk nasi, Bulgogi, Doenjang jjigae, Kimchi, hingga Japchae. Tidak ketinggalan, di sana juga ada segelas susu.
Lalu, di samping susu ada segelas air mineral bening untuk penetral lidahnya. Dan, yang sudah membuat Jisoo muak adalah, pil resep dokter selama bertahun-tahun. Bahkan, Jisoo juga harus datang ke Rumah Sakit secara berkala untuk dapat suntikan khusus.
Merepotkan. Membosankan. Kenapa aku tidak bisa hidup normal? Itu pikirnya. Tapi, dia ingat, ibu sudah berjuang sangat keras untuknya. Rela pergi pagi, pulang malam, demi dirinya. Sungguh jahat jika dia tetap mengeluh. Akhirnya, dengan keteguhan hati, Jisoo pun menghabiskan semua yang disiapkan di meja makan.
Setelah semua beres, Jisoo langsung menuju kampus. Jennie menjemputnya hari ini. Dia rela mengantar dan jemput Jisoo hanya ingin mendengar cerita heboh kejadian semalam. TRANSAKSI BERHASIL. Itu bikin Jennie kehabisan kata-kata. Tinnnnn... Tinnnn... Tinnnnn!!
Klakson mobil yang begitu familiar di telinga Jisoo. Ia pun bergegas mendorong pintu rumah. Lantas, memutar kenop dan... Ceklek... Suara pintu terkunci pun terdengar. Sudah aman. Ia pun segera membuka pintu city car berwarna merah itu. Duduk di samping sang pengemudi.
"Kau berhutang cerita padaku."
Yang diajak bicara hanya terkekeh geli. Dia merasa puas dan senang mendengarnya. Seolah Jisoo baru saja memenangkan pertandingan di ajang bergengsi.
"Jadi...Aku akan ke konser. Bersama mu. Bertemu Jinyoung oppa. Berbahagia. Bukan putri Rapunzel lagi yang diam di kastilnya sepanjang hidup."
Lagi. Dia menarik ujung bibirnya. Bahkan, sekarang lebih lebar dari sebelumnya. Wajahnya terlihat cerah seperti baru dapat undian. Namun....
"Apakah tidak apa-apa? Ibumu.. dia pasti akan menggila."
"Biar saja. Aku bukan anak kecil. Aku sudah pernah sekali operasi jantung. Ku pikir baik-baik saja, jika itu maksudmu."
Jennie menanggapinya dengan anggukan. Lalu tersenyum tanpa melepaskan kedua tangannya dari setir mobil.
"Baiklah. Ayo bersenang-senang, satu bulan lagi! Eh tidak, sepertinya tinggal 25 hari lagi."
"Apa yang harus aku siapkan?"
Yang ditanya hanya menyunggingkan sedikit seringai di wajah dan...
"Tidak perlu. Cukup nikmati saja."
-To be continued-
Wah, cerita korban tewas saat konser ternyata terjadi di negara mana saja ya mbak, tak terkecuali di Indonesia. Tapi Jinyoung ini malah mengundurkan diri dari ranah hiburan :( Dengan penyesalan dan kesedihan mendalam ia rupanya taks anggup meneruskan profesinya itu. Bingung juga sih ya nanti mau jadi pengusaha kah?
ReplyDeleteIichuuu uhh imut banget sik, jadi inget pas di snow drop wkwk. Tapi emang korban tewas pas konser kadang ngga bisa dihindari yah. Bisa bikin artisnya stres juga.
ReplyDeleteAihhh ada Jinyoung...seru juga kalau Ori ngefiksi, ngga dibikin AU di Twitter say? Ditunggu lanjutannya yaaa...
ReplyDeleteFan fiction yang asyiiiiik. Duh emang kalau ada fans meninggal pas konser itu bikin mental down para idol ya. Mereka gak salah sih tapi merasa gak enak aja sama keluarga dan semua pihak yang kehilangan. Ditunggu lanjutannya.
ReplyDeleteYaaa masih bersambung. Kutunggu lanjutannya ya mba Ori. Waalupun blm sempet jadi penikmat Drakor tapi baca ini menyenangkan hahaha
ReplyDelete